Selasa, 20 Desember 2011

Harga Obat Sebaiknya Dikendalikan

Dalam kurun waktu setahun terakhir, masalah harga obat setidaknya telah dua kali diangkat menjadi headlineharian Kompas. Namun, harga obat tetap saja naik. Secara umum, obat dikategorikan menjadi 2, obat paten dan obat generik. Obat paten adalah obat yang masih mendapatkan perlakuan khusus, semacam monopoli, untuk periode tertentu. Selama masa tersebut, obat paten tidak memiliki kompetitor langsung dan biasanya produsen mematok harga  mahal karena alasan pengembalian investasi.

Obat generik adalah obat yang hak patennya sudah lewat. Setelah obat melewati masa patennya, dalam hitungan hari akan muncul obat generiknya di pasar. Memasarkan obat generik, bisa menggunakan nama dagang atau tidak. Para produsen obat generik menggunakan sumber dan asal bahan baku yang setara. Pertimbangan utamanya adalah kualitas, harga dan delivery. Mereka sangat peduli terhadap masalah ini, karena bahan baku memiliki kontribusi besar dalam membentuk harga pokok produksi.

Di Indonesia terjadi salah kaprah. Obat generik yang dipasarkan dengan nama dagang, dianggap obat paten. Yang dianggap generik adalah obat yang dipasarkan menggunakan nama generik (international nonpropretiary name). Kondisi ini dimanfaatkan produsen, untuk menetapkan harga obat generik bermerek mendekati (bahkan bisa lebih mahal dari) obat paten.

Struktur Harga dan Pola Persaingan


Komponen harga obat, secara umum terdiri dari biaya bahan baku, bahan kemasan, biaya produksi (ketiganya membentuk harga pokok produksi), biaya pemasaran, biaya distribusi dan laba. Kecuali biaya pemasaran dan laba, harga pokok produksi dan biaya distribusi, relatif sama antara produsen yang satu dan lainnya. Perbedaan timbul karena faktor efesiensi. Besaran biaya pemasaran dan laba yang ingin diraih, tidak ada referensi yang baku. Acapkali produsen menggunakan harga obat paten dan obat sejenis yang sudah beredar sebagai acuan. Ada pula teori tidak tertulis bahwa harga jual minimal 4 kali harga pokok produksi. Makin efisien proses produksi, makin besar alokasi untuk biaya pemasaran atau laba yang ingin dicapai.

Atas struktur harga yang demikian, ada obat generik bermerek menjadi top of mind penulis resep sehingga angka penjualannya meledak. Sudah menjadi rahasia umum, mungkin terjadi kolusi antara produsen dan penulis resep. Konsumen sebagai the real buyer, tidak memiliki informasi memadai. Terjadi distribusi informasi yang asimetris. Mekanisme pasar tidak berjalan sempurna. Produsen yang tidak sabar atau tidak memilikistrategi pemasaran jitu, atau malas bersaing dengan pola yang sudah ada, bisa ambil jalan pintas. Mereka membuang habis biaya pemasaran dalam bentuk diskon. Kata ahli pemasaran, mereka menggunakan strategipush demand. Tak perlu heran bila ada obat yang memberi diskon puluhan persen.

Fenomena yang sama, terjadi pada obat yang masuk program asuransi.  Purchasing power asuransi demikian besar, sehingga harga obat bisa turun signifikan; termasuk obat paten. Produsen memangkas biaya pemasaran, bila perlu mengurangi porsi laba, untuk menurunkan harga. Produsen tidak kehilangan akal untuk menjustifikasi kebijakan tersebut. Mereka berkilah, memasarkan ke perusahaan asuransi jauh lebih mudah dan ekonomis. Juga karena  perusahaan asuransi telah menentukan plafon harga.

Strategi Pengedalian Harga


Dari uraian di atas, cara efektif untuk mengendalikan harga adalah diberlakukannya program asuransi kesehatan bagi semua. Melalui sistem asuransi, mekanisme pasar akan berjalan sempurna. Produsen harus efisien agar bisa bersaing. Tidak akan ada lagi harga obat generik  (bermerek) yang harganya mendekati atau lebih mahal dari obat paten. Selagi sistem asuransi belum bisa diterapkan penuh, perlu dipertimbangan model pengendalian harga melalui pengendalian biaya pemasaran. Pemerintah berhak mengatur tataniaga obat, bila mekanisme pasar tidak berjalan sempurna. Sasarannya, obat generik bermerek atau tidak.

Untuk obat yang sama, komponen biaya pemasaran dan laba yang ingin diraih adalah 2 faktor yang sangat bervariasi nilainya antara masing masing produsen. Laba adalah hak asasi  perusahaan. Tidak demikian dengan biaya pemasaran. Atas nama konsumen, Pemerintah seyogyanya mengendalikan besaran biaya pemasaran. Biaya pemasaran misalnya dibatasi maksimal 20% dari harga pokok produksi. Harga pokok produksi jenis obat yang sama relatif sama. Maka, besarnya biaya pemasaran antar produsen kurang lebih juga sama. Dengan pola demikian, perbedaan harga obat timbul karena perbedaan target laba yang ingin diraih produsen.

Bila hal ini bisa diterapkan, tidak terjadi lagi pemasaran yang jor-joran dan cenderung tidak etis antar produsen obat. Kemungkinan kolusi juga berkurang, akibat minimnya biaya pemasaran. Dan penulis resep bisa lebih objektif memilihkan obat yang sesuai kondisi ekonomi pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar